Dari Fahmi di Jawa Timur
Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Pendengar Nurani yang budiman, penyesalan
memang selalu datang terlambat pada kehidupan kita, dan penyesalan terkadang
hanya memberi duka yang mendalam pada kita, disaat mengenang kembali sejarah
silam yang menjadi penyebab penyesalan itu muncul..., demikan yang aku alami
saat ini. Duka yang teramat mendalam itu kini masih mendera dalam lubuk hatiku
yang paling dalam, saat menyadari bahwa saat ini aku tengah kembali menyendiri,
setelah setahun silam orang yang sangat mengasihi aku, orang yang sangat peduli
padaku telah dipanggil oleh Allah.
Pendengar Nurani yang budiman, aku adalah seorang lelaki yang
telah membina mahligai rumah tangga bersama seorang wanita sholehah sejak tahun
2004 silam, kuakui, memang pernikahan itu terjadi karena perjodohan yang
diinginkan oleh Orang tua kami masing-masing, sebab orang tuaku dan orang tua
Maryam (Nama istriku,-samaran) adalah memiliki ikatan keluarga, meskipun ikatan itu tidak terlalu
dekat, akan tetapi masa kecil mereka hingga dewasa dan menikahnya hampir selalu
bersama (Ayahku dan ayahnya maryam berteman sejak kecil) sehingga kesepakatan
untuk menjodohkan kami selaku anak-anaknya tak bisa dielakkan lagi. Jujur
aku sendiri awalnya tidak begitu respek dengan perjodohan itu, dan ketidak
respekan itu bukan tanpa alasan, betapa tidak, pertama usiaku dan maryam
terpaut 4 tahun, saat menikah saat itu usia maryam memasuki 28 tahun sementara
aku masih berusia 24 tahun. Yang kedua Maryam memiliki latar belakang pemahaman
agama yang sangat kuat, sementara aku mengenal islam hanya dari kulitnya saja
(Islam KTP). Maka dari perbedaan itulah membuat
aku jadi tidak respek dengan rencana perjodohan itu, sementara kudengar dari
beberapa teman kampusku yang mengenal organisasi dimana Maryam bernaung,
katanya hampir semua bahkan mungkin semua wanita seperti maryam yang taat dalam
memegang syariat islam serta menggunakan cadar memiliki impian bisa menikah
dengan lelaki yang memiliki ketaatan yang sama seperti mereka, lelaki sholeh,
berjenggot dengan celana diatas mata kaki. Dan aku sendiri yakin saat
perjodohan itu direncanakan, ada sejuta protes dihati Maryam menyadari bahwa
lelaki seperti akulah yang dijodohkan dengannya, tetapi kondisilah yang tidak
membuatnya sanggup untuk melawan keinginan orang tuanya, apalagi aku juga
sangat mengenal watak orang tua maryam yang keras. Begitulah.., tak pernah
terlintas dalam benak kami berdua bahwa justru berbagai perbedaan itu
menyatukan kami berdua dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci, dan setuju
atau tidak, ihlas atau tidak akhirnya tahun 2004 itulah awal kebersamaan kami
menjalani biduk rumah tangga.
Pendengar nurani yang baik, usai pernikahan
tersebut dilaksanakan, terasa ada banyak hal yang lain kurasakan, betapa tidak, aku lelaki yang tidak memiliki
bekal pengetahuan agama lantas harus menikah dengan seorang gaids muslimah yang
taat dan bercadar, banyak hal berkecamuk dalam benakku, haruskah aku hidup
dalam bayang-bayang istriku dan turut ikut arus dengan kehidupannya yang kental
dengan agama itu?, atau sebaliknya haruskah aku memaksanya untuk ikut arus
dengan kehidupanku yang santai dan apa adanya? Fikiran-fikiran itulah mulai
muncul dalam benakku diawal pernikahan kami, dan aku sendiri bingun mau dibawa
kemana biduk rumah tangga kami yang dibangun dengan banyak perbedaan ini.
Jujur, sebenarnya aku melihat dan menyaksikan sendiri bahwa istriku adalah
istri yang sangat baik, melayaniku sepenuh hati dalam segala hal, meskipun aku
tahu mungkin tidak ada cinta dihatinya untukku, tetapi tak sedikitpun kata-kata
protes keluar dari bibirnya. Setiap hari aktifitas ibadahnyapun masih terus
berlangsung tanpa sedikitpun mengusik ketenanganku, maksudku, tak sedikitpun
dia mengoceh memintaku untuk sholat bila tiba waktu sholat, semuanya berlalu
begitu saja. Demikian pula aku sering mendapatinya selalu eksis mendirikan
sholat malam dan akupun tak pernah memprotesnya.
Pendengar Nurani yang budiman Waktu
terus berlalu dan tanpa terasa pernikahan kami telah membuahkan hasil, dimana
setahun setelahnya lahirlah bayi mungil hasil pernikahan kami, bayi laki-laki
yang akhirnya kuberi nama Frans meskipun ibunya cenderung memanggilnya Ahmad,
lucu memang, bila bayi itu berada ditanganku, maka aku memanggil dia dengan
sebutan frans, biar keren dan ikut perkembangan zaman (Cara pandangku terhadap
nama-nama anak dizaman modern ini). Sementara bila sikecil mungil itu
berada dalam buaian maryam, maka namanya berubah menjadi Ahmad, pernah bebrapa
kali aku menegurnya : ‘Hei..,
dizaman semodern ini koq masih pakai nama Ahmad sih..yang keren dikit dong,
seperti nama yang sudah kukasi padanya “FRANS”, supaya gak malu-maluin.., zaman
modern koq masih pakai nama ahmad, apa kata dunia...’ itulah celotehku setiap kali mendengar
istriku memanggil frans sikecil jagoanku dengan sebutan Ahmad. Tetapi tak ada
sedikitpun maryam menanggapi celotehku, dan semua berlalu begitu saja.
Pendengar nurani yang baik, jujur ada satu
hal yang paling membuat aku jengkel dari istriku, ditengah aktifitas kantorku
yang padat, dari dulu sampai memasuki setahun pernikahan kami pasti setiap hari
selasa dia selalu meminta diantarkan kerumah Gurunya (Murobbiyah-), katanya
tarbiyah, dan pasti setiap hari selasa itu pertengkaran pun sering terjadi,
betapa tidak, aku yang sibuk dengan pekerjaan kantor harus menerima telepon dan
sms darinya meminta diantarkan kerumah gurunya itu, dan kalau telepon dan
sms2nya gak dibalas pasti akan disusul dengan telepon dan sms susulan “Abi, tolong antarkan ummi
tarbiyah dong, tinggal sejam lagi tarbiyah akan dimulai” begitu gambaran smsnya padaku
menjelang waktu tarbiyahnya dimulai, dan selalu dikirimnya dengan sms susulan
yang bunyinya tambah memelas penuh pengharapan, dan akhirnya membuatku mau
tidak mau harus pulang kerumah dan mengantarnya ketempat tarbiyahnya. Pokoknya
sejak saat itulah setiap hari selasa pasti masalah yang timbul itu2 saja, dan
aku sangat jengkel sekali bila haru pulang rumah dari kantor hanya untuk
mengantar dan menjemputnya lagi. Jadinya sebelum mengantar dan menjemputnya
pasti selalu diawali dengan pertengkaran kecil. Aku sendiri sudah pernah
memperingatnya untuk berhenti menekuni tarbiyahnya itu, tetapi disetiap
permintaan itu kulontarkan, pasti air matanya akan mengucur deras sambil
berujar “abi, maafkan ummi,
bukannya ummi tidak mentaati perintah abi, tapi ummi mohon jangan putuskan
tarbiyah ummi, sebab bila itu terjadi, pasti hati ummi akan terasa gersang
karenanya, sebab dari waktu sepekan, hanya ada satu hari ummi berkumpul dengan
teman-teman ummi dan membicakan kondisi ummat saat ini serta hal-hal lain yang
bisa membuat ummi merasa damai dalam menjalani hidup ini” Hmm..,
jujur mendengar permintaannya yang memelas itu sedikit membuatku tergugah dan
sedikit penasaran, apa sih tarbiyah itu? koq istriku selalu memberi alasan
bahwa hatinya akan selalu tenang dan damai kalau ikut tarbiyah, maksudnya apa
sih, gak faham deh...’ ujarku dalam hati. Dan hal lain yang membuatku
tidak suka adalah panggilan sayangnya padaku “Abi”, huhhggg..apa gak ada
panggilan yang lebih keren apa??, papi kek, kang mas kek, koq panggil Abi...,
pernah beberapa kali saat tamuku dari kantor datang kerumah kupanggil dia
dengan sebutan mami saat aku minta dibuatkan minuman, tetapi malah di jawabnya
iya abi, huuhhgg jengkelnya aku saat itu, entahlah, mungkin karena sudah
terbiasa jadinya dia selalu keceplosan, padahal sudah ada kesepakatan
sebelumnya bahwa panggilan abi dan ummi itu kuizinkan diberlakukan saat berdua
saja, selebihnya harus komitmen dengan panggila papi dan mami, tetapi dasar
dikarenakan apa, selalu saja dia lupa dengan kesepakatan itu.
Pendengar nurani yang baik, kuakui bahwa
istriku begitu baik padaku, bahkan dimataku hampir-hampir tak ada cacat dan
celahnya kebaktiannya padaku, dari sisi biologis aku selalu dipenuhi, keperluan
hariankupun tak sedikitpun terlalaikan olehnya, tetapi yang membuat aku sangat
jengkel aktifitas dakwahnya masih terus jalan, bahkan teman-temannya selalu
datang kerumah untuk menimba ilmu darinya, katanya Mutarrobbinya. Jujur aku
sebenarnya gak masalah bila ada yang datang bertamu kerumah, tetapi kalau sudah
ditentukan hari yang rutin kemudian dengan jumlah tamu yang berpakaian sama
dengan jumlah yang tidak sedikit, apa nantinya tanggapan para tetangga, dan hal
itupun menjadikan pertengkaran kecil diantara kami. “Mi, aku malas jadi bahan
omongan orang, katanya kita memelihara aliran sesatlah, aliran yang tidak
jelaslah, bisa nggak sih untuk yang satu ini mami ikuti permintaan papi,
tolong.., jangan bawa teman2 mami itu kerumah.., apalagi mereka ngumpul hampir
setiap pekan sekali...” celotehku disuatu hari. “Astagfirullah abi, mengapa abi
mempersoalkan pandangan tetangga ketimbang pandangan Allah, insya Allah dalam
rutinitas tarbiyah ummi ini tidak sedikitpun kaitannya dengan aliran sesat atau
apalah yang mereka tuduhkan, semua ini hanyalah pengajian biasa yang hanya
memperdalam halafalan Al-Qur’an dan hadist dan mengevaluasi diri-diri kita
melalui majelis ilmu seperti ini, tidak lebih abi..demi Allah...” “Hahh.., pokoknya papi
tidak setuju, apapun alasannya..., kalau mami mau menghidupkan majelis-majelis
ilmu seperti yang mami bilang itu, maka silahkan cari tempat lain, jangan
dirumah ini...” ujarku lagi “Tapi
abi.., kalau ummi mencari tempat lain itu artinya akan menjadi 2 hari dalam
sepekan ummi keluar rumah, dan itu artinya akan menyita waktu abi untuk
antar-jemput ummi, bukankah abi tida suka direpotkan..?, ummi mohon sama abi..,
mohon diizinkan.., semoga dengan berlalunya waktu para tetangga perlahan-lahan
akan faham, dan insya Allah ummi pula akan bersilaturahim kerumah ibu-ibu
tetangga untuk bersosialisasi dengan mereka tentang hal ini, insya Allah mereka
faham dan akan balik mendukung majelis ini, ummi hanya memohon dukungan abi..”
“hah..terserah mami saja deh..pokoknya papi tidak akan ikut campur bila ada
para tetangga yang mengamuk gara-gara masalah ini.., dan kalaupun itu terjadi,
silahkan mami sendiri yang berurusan dengan mereka..!!” celotehku sambil
berlalu meninggalkan istriku yang tertunduk diam, kudengan suara paraunya
berujar “Insya Allah abi..”
Pendengar Nurani yang budiman, perjalan
waktu semakin membawa pernikahan kami pada usia yang lebih dewasa, dan
Alhamdulillah ditahun ke 3 pernikahan kami, lahir lagi bayi mungil kecil dari
rahim istriku, bayi mungil berjenis kelami perempuan itu kuberi nama Jesica
(agar lebih keren), meskipun seperti halnya Frans, istriku memberi nama lain
jesica dengan panggilan Fatimah. Aduhh...kuno bangett..ujarku dalam hati
mendengar panggilan Fatimah dari mulut istriku saat menggendong jesica. Dan
begitulah, terasa aneh memang, persatuan kami dalam sebuah ikatan pernikahan
tidak lantas membuat kami bersatu dalam hal-hal yang prinsip, termasuk pada
pemberian nama putra-putri kami, jadilah 2 nama sekaligus disandang oleh
Putra-putri kami, FRANS dan JESICA sapaan akrabku untuk kedua permata hatiku,
sementara AHMAD dan FATIMAH sapaan akrab ibunya untuk keduanya, terasa aneh
memang tetapi itulah yang telah terjadi dalam pernikahanku, tidak hanya itu
saja, dalam panggilan aku dan istrikupun sering ada perbedaan yang kontras
diantara kami, aku terbiasa menggunakaan sapaan PAPI dan MAMI untuk kami
berdua, sementara istriku terbiasa dengan gelar ABI dan UMMI, pokoknya aneh
banget kalau di bayangkan, tetapi itu realita.
Pendengar Nurani yang budiman, suatu hari
terjadi pertengkaran hebat antara aku dan Maryam, seperti biasa masalahnya
adalah mengantarnya ketempat tarbiyahnya, saking jengkelnya karena sudah
kuperingati agar berhenti dari aktifitas itu, akhirnya aku tidak menggubris
permintaannya, kumarahi dia dengan kemarahan yang luar biasa marahnya menanggapi
permintaan itu, bahkan kepadanya kulontarkan makian tak layak dilontarkan
karena saking ngototnya istriku meminta diantarkan ketempat tarbiyahnya. “dasar istri durhaka, ditaru
dimana ilmu yang kau pelajari hah samapi-sampai begitu kerasnya membatah
keinginan suami?, atau memang kau mau cari-cari alasan ya supaya papi murka dan
naik pitam?, bukankah papi sudah ingatkan kalau masalah mengantar saja yang
selalu jadi soal, maka berhenti..., apa susahnya sih?, tapi kalau mami mau
ngotot ikut tarbiyah itu lagi, silahkan.., jalan sendiri dan pulang kerumah
juga sendiri, amankan..?, Jujur sebenarnya papi dari dulu tidak respek
dengan aktifitasmu ini, tapi karena setiap kali kau memohon dengan tetean air
mata maka papipun mengizinkannya, tapi kalau begini caranya kayaknya papi sudah
tidak respek lagi deh, jadi untuk kali ini mami dengarkan papi ‘TOLONG BERHENTI
IKUT TARBIYAH itu, titik..!!!” ujarku
dengan kemarahan yang sudah memuncak sampai keubunn, hingga akhirnya dia
melontarkan kata-kata yang membuatku sedikit terdiam tak berkutik:
“Abi, andai tidak menjaga kehormatanku sebagai seorang istri yang tak pantas keluar rumah tanpa mahrom, maka mungkin ummi tidak akan pernah memelas seperti ini pada abi, dan mungkin ummi sudah keluyuran sendiri sesuka hati ummi layaknya wanita-wanita lain yang kelayapan sesuka hati mereka mesti tanpa sepengtahuan suami-suami mereka, ummi hanya ingin, agar kemurkaan Allah tidak menimpa ummi mana kala ummi harus bepergian tanpa mahrom, padahal ummi telah memiliki mahrom, apalagi kantor abi sangat dekat dengan rumah kita dan waktu tarbiyah ummipun selama ini bertepatan dengan waktu istirahat kantor abi, apa ummi salah bila ummi meminta sedikit waktunya abi untuk sekedar mengantar ummi ketempat tarbiyah. Maafkan ummi bila sudah membuat abi marah, hukum ummi bila salah..cambuk ummi bila ummi khilaf.., tapi sekali lagi semua ini ummi lakukan untuk menjaga kehormatan ummi sebagai seorang istri, terus terang ummi sering merasa cemburu dengan teman-teman tarbiyah ummi, ummi cemburu melihat keahagiaaan mereka yang begitu datang tarbiyah diantar oleh suami-suami mereka dengan penuh cinta, dikecup sebelum mereka berpisah, dan dijemput lagi dengan penuh kesabaran meskipun suami-suami mereka jauh lebih sibuk dari abi. Bahkan ummi sangat cemburu melihat salah seorang teman ummi yang rumahnya tidak jauh dari tempat tarbiyahnya, tetapi suaminya tak sedikitpun membiarkan istrinya keluar rumah tanpa didampinginya lalu ditinggalkalah pekerjaannya hanya untuk mengantar istrinya ketempat tarbiyah yang sebetulnya tak jauh dari rumahnya, sekali lagi maafkan ummi abi...” jawab istriku dengan deraian air mata, mendengar semua itu hatiku sedikit tersenuth, ada semacam kaeharuan mengalir dari dalam hatiku, akan tetapi buru-buru perasaan itu kutepis dan berlalu meninggalkannya.
“Abi, andai tidak menjaga kehormatanku sebagai seorang istri yang tak pantas keluar rumah tanpa mahrom, maka mungkin ummi tidak akan pernah memelas seperti ini pada abi, dan mungkin ummi sudah keluyuran sendiri sesuka hati ummi layaknya wanita-wanita lain yang kelayapan sesuka hati mereka mesti tanpa sepengtahuan suami-suami mereka, ummi hanya ingin, agar kemurkaan Allah tidak menimpa ummi mana kala ummi harus bepergian tanpa mahrom, padahal ummi telah memiliki mahrom, apalagi kantor abi sangat dekat dengan rumah kita dan waktu tarbiyah ummipun selama ini bertepatan dengan waktu istirahat kantor abi, apa ummi salah bila ummi meminta sedikit waktunya abi untuk sekedar mengantar ummi ketempat tarbiyah. Maafkan ummi bila sudah membuat abi marah, hukum ummi bila salah..cambuk ummi bila ummi khilaf.., tapi sekali lagi semua ini ummi lakukan untuk menjaga kehormatan ummi sebagai seorang istri, terus terang ummi sering merasa cemburu dengan teman-teman tarbiyah ummi, ummi cemburu melihat keahagiaaan mereka yang begitu datang tarbiyah diantar oleh suami-suami mereka dengan penuh cinta, dikecup sebelum mereka berpisah, dan dijemput lagi dengan penuh kesabaran meskipun suami-suami mereka jauh lebih sibuk dari abi. Bahkan ummi sangat cemburu melihat salah seorang teman ummi yang rumahnya tidak jauh dari tempat tarbiyahnya, tetapi suaminya tak sedikitpun membiarkan istrinya keluar rumah tanpa didampinginya lalu ditinggalkalah pekerjaannya hanya untuk mengantar istrinya ketempat tarbiyah yang sebetulnya tak jauh dari rumahnya, sekali lagi maafkan ummi abi...” jawab istriku dengan deraian air mata, mendengar semua itu hatiku sedikit tersenuth, ada semacam kaeharuan mengalir dari dalam hatiku, akan tetapi buru-buru perasaan itu kutepis dan berlalu meninggalkannya.
Pendengar Nurani yang baik, hingga suatu
hari ketika usia pernikahan kami memasuki tahun ke lima, terjadi kejadian
tragis pada istriku, sebuah kejadian yang membuat mata hatiku terbuka dan
menyadari kekhilafanku selama ini, yah, suatu hari istriku meminta diantarkan
tarbiyah dan dengan hati yang menggerutu aku mengantarnya ketempat tarbiyahnya,
tetapi sebelumnya aku sudah ingatkan dia agar setelahnya dia naik angkot
sendiri untuk pulang kerumah, pada hari itu aku sebetulnya tidak sedang banyak
kerjaan, bahkan saat itu aku sedang santai dirumah bersama kedua permata hatiku
yang memang hari itu aku minta pada istriku untuk meninggalkan mereka dirumah
bersama ibuku (nenek dari anak-anakku), hingga beberapa waktu kemudian datang
sebuah sms di hp-ku, ya, sebuah sms dari istriku yang berbunyi “Assalamu
‘alaikum, afwan abi, alhamdulillah ummi sudah selesai tarbiyah, bisa jemput
ummi sekarang ??” begitulah isi sms dari istriku yang hanya kubaca
saja lalu kuletakkan kembali hpku. Beberapa menit kemudian masuk lagi sms
darinya dengan bunyi “afwan abi, semua teman-teman ummi sudah
dijemput suami-suaminya, tinggal ummi sendiri disini, tuan rumahnya mau keluar
sekeluarga (maksudnya murobbiyahnya sekeluarga), sementara waktu mau magrib,
tolong jemput ummi ya..!” isi sms itu lagi, tapi lagi-lagi sms itu
hanya kubaca dan kuletakkan kembali hp-ku di meja TV, beberapa kali kudengar
hpku berdering dan aku berfikir bahwa itu telepon dari istriku, hingga sms
terakhir darinya kembali masuk ke hp-ku “afwan abi, abi sakit ya, ya
udah kalau gitu, ummi mohon izin naik angkot aja, doakan ummi semoga sampai
dengan selamat kerumah ya, uhibbuka fillah” isi sms istriku yang
ke-tiga kalinya, hatiku lega saat membaca sms itu, dan itu artinya aku tak
perlu lagi menjemputnya, aku sendiri berharap bahwa ini adalah awal yang baik
baginya, supaya kedepannya dia bisa mandiri dan berangkat sendiri ke tempat
tarbiyahnya sendiri.
Pendengar Nurani yang budiman, malam
semakin larut namun istriku tak kunjung tiba kerumah, padahal prediksiku dua
jam yang lalu seharunya dia tiba dirumah, tapi kok hingga 2 jam berlalu dia tak
kunjung tiba, ada apa gerangan??, apa dia tidak tahu jalan pulang?, aduh gimana
nih..? ujarku dalam cemas, beberapa kali aku hubungi nomor hpnya tapi tidak
dijawab-jawab dan itu membuat aku lebih bertambah cemas, ditambah lagi dengan
Frans yang mulai rewel karena mungkin rindu dengan ibunya, sebab memang hari
ini adalah hari pertama ibunya tarbiyah tanpa mengajak Frans dan Jesica, ada
apa dengan maryam ya..? Ya Allah ada apa dengan istriku?, ujarku semakin cemas,
dan entah mengapa malam itu perasaanku sedikir berbeda dari biasanya, aku
merasakan seperti sangat mencinta istriku dan begitu takut kehilangnnya, bahkan
aku merasa bahwa hari itu entah mengapa rasa rinduku tiba-tiba mulai menyelinap
dalam bathinku, ada apa ini.
Pendengar, hingga beberapa jam kemudian
hp-ku berdering dan Alhamdulillah ternyata nomor istriku menelpon, hatiku
sangat girang saat itu, dengan buru-buru kuangkat teleponnya “hallo..,mami
dimana..? koq belum nyampe-nyampe?” tanyaku dengan nada cemas,
tetapi alangkah kagetnya aku ketika kudengar bukan suaranya yang menjawab
melainkan suara seorang wanita yang sangat asing ditelingaku. “maaf
pak, hp ini milik istri bapak ya?, begini pak, tadi sore sekitar 3 jam yang
lalu istri bapak mengalami kecelakaan, beliau di tabrak mobil saat keluar dari
mesjid dan tubuhnya menghatam tembok pagar mesjid, sepertinya beliau lagi
nunggu angkot dan singgah sebentar untuk sholat magrib di Masjid, mobil yang
menabraknya sudah melarikan istri bapak kerumah sakit terdekat tetapi ditengah
perjalanan karena banyaknya darah yang keluar istri bapak meninggal dunia,
sekarang istri bapak di Hospital XXXXX tepatnya dikamar jenazah, mohon bapak
segera datang” jawab wanita itu terbata memberikan keterangan atas
kondisi istriku, dengan sedikit gemetar seakan tak percaya tiba-tiba HP yang
ada dalam genggamanku terlepas dan terjuntal kelantai, air mataku tiba-tiba
turn dengan deras dari kelopak mataku, sedih.., menyesal atas semua tindakanku
selama ini padanya, dan dengan masih perasaan tak percaya aku segera bergegas
menuju Hospital yang telah ditunjukan padaku. Bergegas aku kekamar jenazah
mengikuti arahan salah seorang petugas jaga, dan Subhanallah, kusaksikan dengan
mata kepalaku sendiri tubuh istriku yang terbaring kaku bersimbah darah,
ditubuhnya masih lengkap dengan pakaian syar’i dengan cadar hitamnya masih
menutup wajahnya, menurut salah seorang wanita yang berdiri tak jauh dari
ranjang dimana istriku dibaringkan (Wanita yg menelpon aku dan mengabarkan
istriku kecelakaan), menurutnya mereka dan tim medis sengaja tidak membuka
pakaian yg dikenakan wanita bercadar itu atas permintaannya saat sekarat
manakala dilarikan ke RS, beliau meminta agar jangan sampai ada lelaki yang
menyentuhnya dan membuka auratnya sampai keluarganya datang menjemputnya, wanita tersebut menuturkan dengan
deraian air mata, menurutnya lagi saat sekarat tak ada sedikitpun tanda-tanda
kesakitan pada wajah istriku, bahkan hingga nyawanya berpisah dari
raganya. Ya Allah, betapa mulianya hati istriku, hingga dalam keadaan
sekaratpun dia masih meminta agar kehormatannya tetap dijaga, perlahan bayangan
masa lalu kami kembali terpampang dalam benakku, betapa istriku takut bepergian
sendiri tanpa ada mahrom, bahwa betapa kuatnya dia menjaga kehormatannya
sebagai seorang muslimah, tetapi aku telah lalai dari menjaganya, ya Allah
ampuni aku..., ampuni aku..., terlalu banyak dosa yang telah kuperbuat selama
hidupku.
Pendengar Nurani yang budiman, hingga saat
ini kesedihan itu masih terus menggerogoti perasaanku, meskipun sebuah
kesyukuran sendiri buatku sebab setelahnya Hidayah itu menyapaku. Tetapi
sungguh, hanya Allah yang tahu isi hati ini, bahwa hingga hari ini aku belum
bisa melupakannya dan memafkan diriku sendiri, apalagi mengingat betapa
mulianya hati istriku, jujur selama pernikahan kami, tak pernah satupun dia
kuberikan uang gajiku, bahkan dia tidak tahu berapa penghasilanku setiap
bulannya, Subhanallah, begitu sabarnya dia padaku, dan yang lebih membuatku
sangat bersedih lagi adalah tak pernah satu kalipun selama pernikahan kami aku
membelikannya pakaian yang syar’i, seingatku pakaian muslimah syar’i yang
dipakainya selama menikah denganku adalah pakaian yang memang telah dimilikinya
sebelum menikah denganku dan lagi-lagi dia tidak pernah mengeluh padaku,
kudapati pula jubah yang dipakainya saat kecelakaan itu telah sobek dibagian
punggungnya, dan dari sobekan itu sudah ada jahitan2 sebelumnya yang telah
lapuk, andai saja dia tidak memakai jilbab besar, mungkin sobekan itu akan
terlihat jelas. Dan hal lain yang mebuat aku semakin pilu adalah dokter
memberikan keterangan bahwa ada janin yang diperkirakan berusia 6 pekan dalam
kandungan istriku. Yaa Allah ampuni aku...ampuni aku ya Allah..kasihan
istriku..betapa sabarnya dia menghadapiku selama ini.
Pendengar Nurani yang baik, Alhamdulillah
saat ini aku telah aktif tarbiyah, andai istriku masih ada, pasti dia akan bahagia
melihat aku saat ini yang Alhamdulillah telah tersentuh oleh hidayah-Nya,
tetapi sayang dia telah tiada, yang tersisa hanyalah kenangannya dan juga Ahmad
dan Fatimah. Duhai mujahidahku tersayang, maafkan abi yang telah melalaikanmu..
Abi tahu berlarut-larut dalam kesedihan ini tak baik.., tetapi kesedihan ini
entah mengapa tak pernah lekang dari perasaan abi.. Abi janji pada ummi, akan
menjaga Ahmad dan Fatimah, mujahid dan mujahidah kita tercinta..., insya allah
mereka akan tumbuh dengan ahlak seperti umminya atau mungkin lebih dari abi dan
umminya.. Selamat jalan wahai mujahidaku tersayang, semoga Allah menerima semua
amal ibadahmu dan menempatkanmu dijannahnya yang tertinggi...Aamiin ... Wassalam ....
Sumber : pendengarnurani.blogspot.com