1. BERTAQWA KEPADA ALLAH Shubhaanahu Wa Taala
Allah Shubhaanahu Wa Taala telah memerintahkan kepada para RasulNya dan orang-orang beriman untuk senantiasa memulai dakwahnya dari diri dan keluarganya. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.At Tahrim: 6)
2. MENINGKATKAN TATAWWUR (KEMAMPUAN PRIBADI)
Seorang da’i jangan pernah merasa cukup dengan tsaqafah ( ilmu ) yang dia miliki. Dia harus terus menuntut ilmu dengan bertanya, membaca, mengikuti pelatihan-pelatihan, kajian-kajian atau yang lainnya. Sambil berdakwah atau mengajar juga tetap belajar. Imam Nawawi adalah seorang ulama besar, namun beliau tetap belajar ditengah-tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah. Karena ilmu itu tidak bertepi, sangat luas dan tiada batas. Dia bagaikan lautan yang luas tanpa tepi. Oleh karena itu menuntut ilmu itu sampai mati, jangan merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki.
Ulama mengatakan bahwa Ilmu itu tiga jengkal. Barangsiapa yang masuk pada jengkal pertama maka dia akan sombong atau takabur. Misalnya satu buku dibaca sudah mau jadi Mufti (Pemberi Fatwa). Dan siapa yang masuk pada jengkal ke dua maka dia menjadi tawadhu’ ( rendah hati ), dia merasa bodoh. Dan barang siapa yang masuk pada jengkal ketiga maka dia akan semakin merasa tidak memiliki ilmu apa-apa.
3. SEORANG DA’I PANTANG PESIMIS / PUTUS ASA
Seorang muslim yang istiqomah dengan agamanya akan terasing ditengah-tengah manusia bahkan terasing di tengah-tengah kaum muslimin itu sendiri, hal ini menjadi tatangan yang berat baginya. Namun keterasingan jangan sampai membuat kita putus asa, karena sikap putus asa pantang bagi seorang muslim terlebih lagi seorang da’i. Ketahuilah keterasingan itu bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga ditemukan di belahan dunia yang lain, bahkan sampai di Mekah, Madinah pun orang yang istiqomah terasing, hanya saja tingkatannya berbeda. Jadi jangan pernah menyangka bahwa jalan perjuangan Islam ini mulus. Hidup ditengah-tengah masyarakat dianggap aneh dan dikucilkan merupakan sunnatullah bagi orang yang istiqomah karena keterasingan itu selamanya pasti akan selalu ada. Keadaan ini juga dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya ketika Islam mulai didakwahkan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Islam ini datang dalam keadaan ghorib (asing) dan akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing, yang memperbaiki manusia dalam keadaan rusak”.(al Hadits).
4. PARA DA’I JANGAN ISTI’JAL ( TERGESA-GESA )
Mengapa dakwah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam di Mekkah tidak ditempuh dua tahun atau lima tahun saja? Beliau berdakwah di mekkah selama 13 tahun, dan hanya mendapatkan pengikut 45 orang sahabat saja, namun beliau tetap bersabar dan terus mendidik dan mentarbiyah sahabatnya, walaupun dalam kondisi tertindas dan terasing ditengah-tengah masyarakat Makkah saat itu. Setelah 13 tahun kemudian, beliaupun berhijrah ke Madinah. Berapa tahun setelah hijrah baru terjadi Fathul-Makkah? Peristiwa ini nanti terjadi pada tahun 8 H. Mengapa tidak dilaksanakan pada tahun 5 H atau jauh sebelumnya? dan tidak ada pembukaan daerah kekuasaan kaum muslimin secara luas kecuali setelah beliau wafat. Hal ini menunjukkan bahwasanya dakwah dan perjuangan Islam ini dilakukan tidak dengan tergesa-gesa. Ini adalah buah kesabaran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam mentarbiyah para sahabat yang jumlahnya kurang lebih hanya empat puluh lima orang yang kemudian melahirkan orang-orang yang membuka lahan-lahan dakwah yang lebih luas bahkan sampai sepertiga belahan dunia, sungguh sangat menakjubkan!.
Seorang da’i harus memulai dari dirinya sendiri, yaitu mendakwahi dirinya sendiri sebelum mendakwahi orang lain. Sebab bagaimana dia akan mendakwahkan agama kepada orang lain sementara dia lalai pada dirinya.
Allah Shubhaanahu Wa Taala berfirman : “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS.Al Baqarah :44)
Sasaran dakwah seorang dai yang pertama terhadap dirinya, hendaklah dia berazam :“saya ingin menyelematkan diri saya dahulu”.
Prioritas pertama bagi seorang da’i adalah dia berusaha menyelamatkan dirinya, penghuni rumahnya, keluarganya dari ancaman Allah . Seorang da’i tidak melupakan amalan-amalan pribadi misalnya sholat berjamaah, membaca Al Qur’an, sedekah. Sibuk berdakwah namun melupakan dirinya, keluarganya maka itu bukan dakwah tetapi syahwat atau hawa nafsu. Inilah perbedaan antara dakwah dengan hawa nafsu.
Nabi dan Rasul adalah para da’i yang diutus oleh Allah Shubhaanahu Wa Taala untuk menyampaikan risalah agama ini. Mereka sibuk berdakwah, sibuk membina umat namun tidak melupakan diri untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Mereka bangun malam untuk sholat malam, berdoa kepada Allah dengan (rohbah wa raghbah) harap dan cemas.
Maka begitulah seharusnya seorang da’i, sibuk mengurus umat namun tidak lupa mengurus diri sendiri. Jangan sampai karena sibuk mengurus dakwah, tapi lupa mentarbiyah diri. Sebagaimana para Nabi yang telah Allah Shubhaanahu Wa Taala utus. Mereka berdo’a kepada Allah Shubhaanahu Wa Taala pada malam hari lalu mereka sibuk mengurus umat pada siang hari.
Begitupula para imam-imam kita. Misalnya Imam Ahmad, beliau sanggup shalat (nafilah) satu hari satu malam 300 rakaat. Imam Syafi’I, beliau sanggup menghatamkan Al Qur’an sekali dalam tiga hari dan dalam bulan Ramadhan 2 kali sehari atau 60 kali dalam satu bulan, beliau bersungguh-sungguh untuk dirinya. Imam Malik, Imam Abu Hanifah mereka tekun beribadah kepada Allah disamping beliau sibuk mengajar, dan berdakwah namun tidak lupa pada dirinya.
Ketahuilah pintu-pintu kebaikan banyak sekali, tergantung dari pintu mana kita mau memasukinya. Ada pintu sedekah, jika ada rezki maka kita bisa masuk dari pintu sedekah. Ada pintu sholat masuklah darinya dengan memperbanyak sholat nafilah. Ada pintu puasa dan masih banyak pintu-pintu kebaikan yang lain. Yang terpenting adalah bagaimana (meriadhoh) melatih diri dengan ibadah-ibadah untuk mendidik (mentarbiyah) diri masing-masing.
Allah Shubhaanahu Wa Taala memasukkan hamba-hambaNya kedalam Surga melalui pintu-pintu yang sesuai dengan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan. Bagi hamba yang rajin sedekah dipanggil dari pintu sedakah. Ahli shoum ( puasa) akan dipanggil dari Arraya (pintu) ahli puasa. Ahli Jihad dipanggil dari pintu jihad.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam diberikan oleh Allah Shubhaanahu Wa Taala tingkatan-tingkatan dalam beramal. Mereka ada yang rajin berpuasa, ada yang rajin berjihad, mereka sibuk berdakwah. Dalam kesibukan tersebut mereka tidak lupa mentarbiyah dirinya.
Maka jangan sampai ada (khalal) celah pada diri, yang bisa dimanfaatkan syetan untuk mengoda kita sebagai da’i supaya lupa memperbaiki diri. Oleh karena itu seyogyanya sebagai seorang da’i mentarbiyah dirinya dengan amalan atau ibadan-ibadah yang pintunya banyak sekali untuk menguatkan imannya.
Seorang da’i jangan pernah merasa cukup dengan tsaqafah ( ilmu ) yang dia miliki. Dia harus terus menuntut ilmu dengan bertanya, membaca, mengikuti pelatihan-pelatihan, kajian-kajian atau yang lainnya. Sambil berdakwah atau mengajar juga tetap belajar. Imam Nawawi adalah seorang ulama besar, namun beliau tetap belajar ditengah-tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah. Karena ilmu itu tidak bertepi, sangat luas dan tiada batas. Dia bagaikan lautan yang luas tanpa tepi. Oleh karena itu menuntut ilmu itu sampai mati, jangan merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki.
Para Malaikat, Nabi dan Ulama adalah orang-orang yang tawadhu’ dengan ilmunya. Mereka sadar bahwa ilmu yang dimilikinya adalah pemberian Allah padanya. Hendaklah seorang da’i tawadhu’ dengan ilmunya dan terus berusaha untuk meningkatkan kualitas SDM atau kapasitas ilmiahnya.
Terkhusus dalam mempelajari bahasa Arab hendaknya seorang da’i memperhatikan hal ini dan mengkhususkan untuk mempelajarinya. Jangan pernah merasa lemah untuk memperlajarinya karena bahasa Arab adalah mifhtahul ‘ilmi (kunci ilmu-ilmu syar`i) yang memudahkan seorang da’i untuk mememahami lebih dalam ilmu-ilmu syar’i terutama kandungan Al-Qur’an. Tidak ada halangan untuk tidak mempelajari bahasa Arab, karena sekarang sudah banyak sarana untuk belajar bahasa Arab. Sudah banyak sekolah atau pesantren yang telah mengajarkan dan menerapkan bahasa Arab. belajar bahasa Arab bisa ditempuh melalui kaset-kaset, situs internet atau dengan buku-buku bahasa Arab atau yang lainnya. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana memotivasi diri untuk bisa belajar bahasa Arab.
Seorang Orientalis dari Britton (Inggris) bertemu dengan Raja Faisal, kemudian berkata :” Wahai raja Faisal, saya telah membaca Al Qur’an. Ternyata isinya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa di dalamnya, dan tidak ada kandungan sastranya”. Lalu raja faisal bertanya : “ Yang kamu baca Al-Quran terjemahan atau aslinya? Dia menjawab : “Terjemahannya”. Raja Faisal berkata : “ Oh jelas, jika engkau membaca Al-Quran terjemahan engkau tidak akan merasakan keistimewaannya. Tapi jika engkau membaca Al-Quran aslinya engkau akan mendapatkan banyak keistimewaan, apakah dia mengenai sastranya, tata bahasanya atau nahwunya dan keindahannya yang lain”
Keistimewaan Al-Qur’an sungguh sangat luar biasa. Bahkan sampai sekarang ulama masih terus menggali nilai-nilai dari Al-Qur’an. Misalnya :
Firman Allah Shubhaanahu Wa Taala dalam surat Al-Maidah ayat 69 Dan di surat Al Baqarah Ayat 62, Firman Allah Shubhaanahu Wa Taala dalam surat Al Baqarah ayat 62 :
kata "Wasshobiuna" pada surat al-Baqarah dan kata "Wasshobiina" di surat al-Maidah yang dinasab dengan "inna", perbedaannya penyebutan ini masih diteliti oleh ulama. Menunjukkan keluarbiasaan al-Quran. Oleh karena itu, Ia disebut mukjizat abadi, yang terus menantang orang-orang Arab yang fasih dalam bahasa Arab.
Contoh lain dalam surat Al-Fatihah ayat 6:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”,
Dalam ayat ini kenapa tidak dikatakan Çá (ke) sebelum kata "Shirata" namun didahului dengan kata "ihdina" ini memberi makna bahwa kita bukan sekedar memohon kepada Allah untuk menunjuki jalan, akan tetapi juga memohon agar Allah Shubhaanahu Wa Taala senantiasa menetapkan kita di atas kebenaran dalam menempuh jalan tersebut. Karena bisa saja seseorang ditunjuki jalan lurus, namun dia tidak diberi hidayah untuk berjalan di atas kebenaran yang telah di ketahuinya, dan bisa saja ia menempuh jalan yang lurus tersebut namun caranya tidak sesuai dengan sunnah atau syari’at. Demikianlah keistimewaan bahasa Arab. Nikmatnya membaca Al-Quran tidak terasa jika tidak mengerti bahasa Arab. Begitupula dengan hadits-hadits Rasulullah, syair-syair Arab serta karya para ulama, kita dapat merasakan indahnya setelah mengerti bahasa Arab.
Seorang muslim yang istiqomah dengan agamanya akan terasing ditengah-tengah manusia bahkan terasing di tengah-tengah kaum muslimin itu sendiri, hal ini menjadi tatangan yang berat baginya. Namun keterasingan jangan sampai membuat kita putus asa, karena sikap putus asa pantang bagi seorang muslim terlebih lagi seorang da’i. Ketahuilah keterasingan itu bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga ditemukan di belahan dunia yang lain, bahkan sampai di Mekah, Madinah pun orang yang istiqomah terasing, hanya saja tingkatannya berbeda. Jadi jangan pernah menyangka bahwa jalan perjuangan Islam ini mulus. Hidup ditengah-tengah masyarakat dianggap aneh dan dikucilkan merupakan sunnatullah bagi orang yang istiqomah karena keterasingan itu selamanya pasti akan selalu ada. Keadaan ini juga dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya ketika Islam mulai didakwahkan.
Tantangan keterasingan yang ada di Indonesia belum seberapa jika dibanding dengan situasi yang ada di wilayah Arab. Misalnya di Al Jazair, Mesir, Suriah. Disana mesjid-mesjid tidak dibiarkan bebas digunakan orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan dakwah. Bahkan dibeberapa daerah Arab tidak diperbolehkan wanita-wanitanya mengenakan jilbab di kampus-kampus. Maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim berputus asa dengan tantangan yang dihadapinya.
Salah satu bagian dari dakwah manhaj salafus shaleh adalah tidak tergesa-gesa dalam berdakwah. Dalam berdakwah tidak bisa serta merta ingin memperoleh hasil dan segera memetik buah dari dakwahnya karena ini adalah penyakit dalam dakwah.
Oleh karena itu sebagai seorang da’i, hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berdakwah karena sesungguhnya ia adalah dari syetan. Sebagian da’i yang tidak sabar untuk segera melihat hasil dari perjuanganaya, ingin cepat mendapatkan pengikut yang banyak padahal Nabi dan Rasul dahulu yang berdakwah sekian tahun hanya memiliki beberapa pengikut bahkan ada yang tidak memiliki pengikut seorangpun sebagaimana yang digambarkan dalam hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bahwa pada hari kiamat nanti ada seorang rasul yang datang dengan satu pengikut bahkan ada yang tanpa pengikut, apakah mereka dikatakan gagal berdakwah? Mereka adalah manusia pilihan yang diutus oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dengan membawa risalah yang bertujuan memperbaiki manusia. Karena tujuan kita adalah memperbaiki manusia maka hendaknya kita bersabar jangan tergesa-gesa, tergesa-gesa merupakan penyakit yang dapat merusak bangunan dakwah, olehnya itu harus senantiasa bersabar. Demikianlah manhaj Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
Sewaktu pasukan Tar-tar masuk ke Iraq dalam waktu 40 hari mereka telah membunuh satu juta umat muslim Iraq, mereka menghancurkan perpustakaan-perpustakan dan buku-buku para ulama dibuang ke sungai Eufrat dan sungai Dajla hingga airnya menjadi hitam dan biru karena tinta dari kitab-kitab tersebut, kondisi yang mereka alami lebih dahsyat dari kondisi kita sekarang.
Tahun 313 H orang-orang syiah rafidhah membunuh 30 ribu hajajj (jamaah haji) di depan Kabbah, lalu mereka mengambil hajar aswad, sehingga kabbah kehilangan hajar aswad selama 22 tahun. Sebab orang syiah lebih menyukai tawaf di Karbala daripada di Kabbah.
Dalam masa empat kurun waktu, orang-orang syiah Rafidhah berkuasa hampir di seluruh jazirah Arab. Sehingga pada saat itu setiap tanggal 10 Muharram di seluruh jazirah Arab melakukan hari Karbala secara besar-besaran kecuali di Iran masih menjadi negara yang memegang sunnah. Demikianlah Allah Shubhaanahu Wa Taala memberikan cobaan kepada umat ini, jangan merasa bersedih dengan kondisi sekarang dan isti’jal karena umat terdahulu juga mengalami hal yang demikian. Lihatlah para pemerintah menguasai para ulama, seperti imam Ahmad, dipenjara selama dua tahun empat bulan dan disiksa namun tetap bersabar. Demikian pula dengan imam Malik, imam Syafi’i mereka juga mengalami tantangan seperti itu. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dipenjara selama 26 tahun hingga akhirnya meninggal dalam penjara tetapi tidak sampai mengkafirkan penguasa yang memenjarakannya.
Saling menyayangi dan menjaga ukhuwah antara da’i dan tidak berpecah-pecah, karena ukhuwah merupakan hal yang sangat mahal harganya sebagai pemberian dari Allah Shubhaanahu Wa Taala , walaupun kita menginginkan persatuan atau ukhuwah namun jika Allah Shubhaanahu Wa Taala tidak menghendakinya maka kita tidak akan memperolehnya sebagaimana dalam firman-Nya : “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Qs.Al-An-Fal : 63)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Al Imran : 103).
Hendaknya seorang da’i saling mencintai dan menghindari perpecahan. Kalaupun ada perselisihan, hal ini wajar sebagaimana seorang suami-istri yang kadang berselisih namun tetap saling mencintai. Allah Shubhaanahu Wa Taala sangat mencela orang-orang yang selalu ingin berpecah sebagaimana dalam firmanNya :
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS.Al An‘naam : 159)
Maka marilah kita saling menjaga ulfah atau kasih sayang dan saling menasehati antar sesama da’i agar tetap bisa istiqamah di atas jalan yang lurus yaitu istiqamah dalam mendakwahkan agama Allah.
Wallahu A’lam
(Transkrip Daurah 6 Agustus 2007 di Masjid Darul Hikmah Kantor DPP WI),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar