Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda
Mengenai Syaikh Abdurrozzaq,
sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah dekat dengan beliau,
bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota Madinah, bahkan
bukan pula orang yang paling ‘alim di Universitas Islam Madinah, karena pada
kenyataannya masih banyak ulama lain lebih unggul daripada beliau dari sisi
keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa
adalah perhatian beliau terhadap amal, takwa, dan akhlak. Hal ini tidak
mengherankan karena seringkali wejangan-wejangan beliau tentang perhatian pada
mengamalkan ilmu.
Selama kurang lebih 9 tahun, beliau
mengajar sebuah kitab tentang adab karya Imam Al-Bukhari yang berjudul Al-Adab
Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah, setiap hari Kamis setelah shalat
Shubuh. Selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang sama di Masjid Nabawi. Ini
semua menunjukkan perhatian beliau terhadap adab dan akhlak mulia. Bahkan, saat
beliau mengisi di Radiorodja dan waktu itu tidak ada materi yang siap untuk
disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara ingin ada pengajian
khusus tentang tanya jawab dengan diberi sedikit mukadimah, maka beliau
langsung setuju, dan mukadimah yang beliau bawakan adalah tentang pentingnya
mengamalkan ilmu.
Orang
yang Tidak Shalat Shubuh Berjamaah Bukanlah Penuntut Ilmu
Syaikh Abdurrozaq pernah
mengunjungi suatu kampung yang terkenal memiliki banyak penuntut ilmu.
Maka beliau pun shalat di masjid tersebut. Di sana, beliau bertemu seorang
kakek, lantas beliau berkata seraya memberi kabar gembira kepada sang Kakek,
“Masya Allah, kampung Kakek banyak sekali penuntut ilmu.” Tapi, sang Kakek
malah menimpali dengan perkataan sinis, “Tidak ada tullabul ‘ilm (para penuntut
ilmu) di kampung ini. Sebab, orang yang tidak shalat shubuh berjamaah bukan
penuntut ilmu!”
Syaikh Abdurrozaq tertegun
mendengar kalimat sang Kakek. Rupanya benar, banyak penuntut ilmu di kampung
tersebut tidak menghadiri shalat shubuh berjamaah. Syaikh pun membenarkan
perkataan sang Kakek, “Anda benar, bahwa ilmu itu untuk diamalkan. Bahkan bisa
jadi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu semalam suntuk membahas tentang
hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat Shubuh secara berjamaah,
bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits tersebut di luar kepalanya.
Akan tetapi tatkala tiba waktu mengamalkan hadits-hadits yang dihafalkannya
itu, dia tidak mengamalkannya, malah ketiduran, tidak shalat shubuh berjamaah.”
Memang benar bahwasanya tujuan dari
menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Rasulullah saw. bersabda: القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Al-Quran
akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang
akan menyerangmu. (HR
Muslim no 223)
Saya teringat nasihat Syaikh
Utsaimin yang disampaikan di hadapan para mahasiswa Universitas Islam Madinah,
bahwasanya ilmu itu hanya akan memberi dua pilihan, dan tidak ada pilihan
ketiga, yaitu: [1] menjadi pembela bagi pemiliknya atau [2] akan menyerangnya
pada hari kiamat jika tidak diamalkan.
Oleh karena itu, hendaknya
seseorang tidak menuntut ilmu hanya untuk menambah wawasannya, tetapi dengan
niat untuk diamalkan agar tidak menjadi bumerang yang akan menyerangnya pada
hari kiamat kelak.
Marilah kita renungkan…!
Sudah berapa lama kita ikut pengajian?
Sudah berapa kitab yang kita baca?
Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan?
Sungguh suatu kenikmatan ketika
seseorang bisa aktif ikut pengajian, akan tetapi apakah kita siap untuk
menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua, sebagaimana
yang dikabarkan Nabi saw.: عَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا
عَمِلَ فِيهِ؟
“Dia
akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”
Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan
bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu lantas tidak diamalkan maka
hal ini menunjukkan ada niatnya yang tidak beres. Sungguh menyedihkan jika
kita, ahlus sunah, yang seharusnya memberi perhatian besar terhadap ilmu akidah,
baik penanaman akidah maupun pembenahan akidah-akidah yang menyimpang di
masyarakat, namun ilmu akidah tidak tercermin pada amalan shalih kita.
Syaikh Abdurrozzaq berkata: “Aku
ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya tatkala
kita mempelajari ilmu aqidah. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ
قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ
فَمَدْخُوْلٌ
Setiap
ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka
telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk
beramal maka telah termasuki (tercoreng).( Al Fawaid 86)
Maksud “telah termasuki” dari
perkataan Ibnul Qoyyim yaitu telah termasuki sesuatu; baik riya, tujuan
duniawi, atau yang semisalnya, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan
tidak akan diberkahi. Oleh karena itu, niat yang baik merupakan perkara yang
harus, baik dalam mempelajari akidah ataupun ilmu agama yang lain secara umum.
Jika seseorang mempelajari ilmu
akidah hendaknya dia tidak mempelajarinya sekadar menambah telaah dan
memperbanyak wawasan, tetapi hendaknya karena akidah merupakan bagian dari
agama Allah yang diperintahkan Allah kepada para hamba-Nya, serta menyeru
mereka kepada-Nya dan menciptakan mereka karena akidah dan dalam rangka
merealisasikannya. Maka hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami
dalil-dalilnya dan ber-taqarrub kepada Allah dengan mengimaninya dan
menanamkannya dalam hatinya. Jika dia mempelajari akidah dengan niat seperti
ini maka akan memberikan buah yang sangat besar, dan akan memengaruhinya dalam
perbaikan sikap, amal, dan akhlak dalam seluruh kehidupannya.
Jika seseorang mempelajari akidah
hanya untuk jidal dan perdebatan, dengan tanpa memerhatikan sisi penyucian jiwa
dengan keimanan, keyakinan, serta rasa tenang dengan akidah tersebut, maka
tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Di antara contoh tentang perkara
ini -- yang berkaitan dengan iman kepada melihat Allah di akhirat kelak -- sabda
Nabi saw: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ ، لاَ تُضَامُونَ ـ وفي رواية:”لا
تُضارُّون”، وفي رواية:”لا تُضَامُّون”ـ في رؤيته، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَلاَّ
تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وّقَبْلَ غُرُوْبِهَا
فَافْعَلُوا ، ثُمَّ قَرَأَ: وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ
وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Sesungguhnya
kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat
bulan. Kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian
tidak akan saling mencelakakan; dalam riwayat yang lain: kalian tidak
akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu melaksanakan shalat
sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah.”
Kemudian Nabi membaca firman Allah:
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ
وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya). (Q.S.
Qaf: 39 )
Maksud Nabi adalah shalat Shubuh
dan shalat Asar. Perhatikanlah keterkaitan antara akidah dan amal. Nabi
menyebutkan kepada para sahabat perkara akidah, yaitu beriman kepada melihat
Allah. Lalu Nabi menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah
dari akidah yang benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu
untuk tidak terluputkan….”
Jika ada seseorang mempelajari
hadits-hadits tentang iman kepada melihat Allah, lantas meneliti jalan hadits
serta sanad-sanadnya, lalu dia mendebat para ahlul kalam dan membantah
syubhat-syubhat seputar hal ini, kemudian ternyata dia begadang dan akhirnya
meninggalkan shalat Shubuh, bisa jadi shalat Shubuh tersebut tidak ada nilainya
di sisi-Nya. Sang muadzin telah mengumandangkan adzan untuk shalat, “As-Shalatu
khairun minan naum,” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur) namun kondisinya
menunjukkan seakan-akan dia berkata, “Tidur lebih baik daripada shalat.” Maka,
mana pengaruh akidah pada sikapnya?
Kita mohon kepada Allah
keselamatan. Orang seperti ini perlu memperbaiki niat dan tujuannya dalam
mempelajari akidah agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, maka
terwujudkanlah pengaruh yang baik yang barakah baginya. Seorang muslim
semestinya mempelajari akidah karena itu adalah akidah dan agamanya yang Allah
telah memerintahkan dia untuk mengamalkannya. Dan hendaknya dia
bersungguh-sungguh agar ilmu akidahnya tersebut bisa memberi pengaruh pada
diri, ibadah, dan taqarrub-nya kepada Allah.” (Tadzkiratul Mu’tasi Syarh
Akidah, Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al-Maqdisi; hal 21-22)
Marilah kita bercermin dan
menginstropeksi diri kita, apakah dengan semakin bertambahnya ilmu kita
demikian juga bertambah amalan kita? Ataukah bertambahnya ilmu justru membuat
kita semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih ingat, di awal-awal
mengenal pengajian, semangat kita begitu besar dalam menjalankan sunah-sunah
Nabi, akan tetapi kenapa ada sebagian dari kita dengan semakin bertambahnya
ilmu justru semakin sedikit beramal? Bahkan, ada pula sebagian kita setelah
mengetahui beberapa amalan hukumnya sunah (mustahab) dan tidak wajib, malah
terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut. Bertambahnya ilmu justru
mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bukankah bisa jadi karena terbiasa
meninggalkan amalan-amalan sunah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa
ditinggalkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
pernah berkata: وَإِذَا أَصَرَّ عَلَى تَرْكِ مَا
أُمِرَ بِهِ مِنْ السُّنَّةِ وَفِعْلِ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَقَدْ يُعَاقَبُ
بِسَلْبِ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ حَتَّى قَدْ يَصِيرُ فَاسِقًا أَوْ دَاعِيًا إلَى
بِدْعَةٍ
“Seseorang jika terus meninggalkan sunah yang diperintahkan dan melakukan
perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan
meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasik
atau orang yang menyeru kepada bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa 22/306)
Marilah kita cek hati dan ketakwaan
kita, apakah dengan bertambah ilmu setelah sekian tahun ikut pengajian, maka
ketakwaan dan keimanan kita semakin berkobar, ataukah malah semakin kendor?
Jika ternyata kita semakin malas beramal dan semakin lemah iman kita maka
ingatlah nasihat Syaikh Abdurrozzaq tadi bahwasanya niat kita selama ini
ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati; baik riya,
ujub, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya.
Allahul musta’an.
Ilmu
adalah Pohon, dan Amal adalah Buahnya
Para pembaca yang budiman, tahukah
Anda bahwa ilmu bukanlah ibadah yang independen? Ilmu hanya disebut ibadah dan
terpuji apabila ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan
amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan
dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa
Al-Muwafaqat. Beliau berkata: أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ لا
يُفيد عَمَلاً؛ فَلَيْسَ فِي الشَّرعِ مَا يَدُلُّ عَلَى استِحسَانِه
“Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun
yang menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74)
Oleh karena itu, semua dalil yang
berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu semuanya harus dibawakan
kepada ilmu yang disertai dengan amal.
Firman Allah: قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
(٩)
“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ
وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(١٨)
Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Demikian juga semisal hadits Nabi
saw.: من يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْنِ
Barang
siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih
(paham) tentang ilmu agama. Maksudnya adalah orang yang dikendaki
kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya.
Adapun orang yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas
ilmunya akan menjadi bumerang baginya.
Asy-Syathibi rahimahullah membawakan
banyak dalil yang menunjukkan akan hal itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh
ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak
bermanfaat. Allah telah berfirman: إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28)
Dan Allah juga berfirman: وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ
Dan
Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan
kepadanya. (Q.S.
Yusuf: 68)
Qatadah berkata: “Maksudnya adalah لَذُو عَمَلٍ بِمَا عَلَّمْنَا dia mengamalkan ilmu yang Kami ajarkan kepadanya…”
(Al-Muwafaqat 1/75).
Dan yang paling menunjukkan akan
hal ini adalah hadits Nabi saw: لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا
الْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يُسأَلَ عَنْ خَمْسِ خِصَالٍ”،
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya
tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh
Nabi saw.: وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟ “ Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa
yang telah diamalkan dari ilmunya?”
Pernah ada seseorang yang bertanya
(masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya:
“Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab:
“Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan
menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami’ no 1232).
Oleh karena itu, sungguh indah
kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil
akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk amal dan bukan tujuan)
terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa ilmu merupakan sebuah wasilah
(sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Akan
tetapi, ilmu hanyalah wasilah untuk beramal. Maka semua dalil yang menunjukkan
akan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Dan
kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syariat)
kecuali dari sisi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yaitu amal.”
(Al-Muwafaqat 1/83-85)
Sungguh indah wasiat Al-Khathib
al-Baghdadi kepada para penuntut ilmu:
إِنِّي مُوصِيكَ يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بِإِخْلَاصِ
النِّيَّةِ فِي طَلَبِهِ، وَإِجْهَادِ النَّفْسِ عَلَى الْعَمَلِ بِمُوجَبِهِ،
فَإِنَّ الْعِلْمَ شَجَرَةٌ وَالْعَمَلَ ثَمَرَةٌ، وَلَيْسَ يُعَدُّ عَالِمًا مَنْ
لَمْ يَكُنْ بِعِلْمِهِ عَامِلًا، ... وَمَا شَيْءٌ أَضْعَفُ مِنْ عَالِمٍ تَرَكَ
النَّاسُ عِلْمَهُ لِفَسَادِ طَرِيقَتِهِ ، وَجَاهِلٍ أَخَذَ النَّاسُ بِجَهْلِهِ
لِنَظَرِهِمْ إِلَى عِبَادَتِهِ
...
وَالْعِلْمُ يُرَادُ لِلْعَمَلِ كَمَا الْعَمَلُ يُرَادُ لِلنَّجَاةِ
، فَإِذَا كَانَ الْعَمَلُ قَاصِرًا عَنِ الْعِلْمِ، كَانَ الْعِلْمُ كَلًّا عَلَى
الْعَالِمِ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عِلْمٍ عَادَ كَلًّا، وَأَوْرَثَ ذُلًّا،
وَصَارَ فِي رَقَبَةِ صَاحِبِهِ غَلًّا ، قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الْعِلْمُ
خَادِمُ الْعَمَلِ، وَالْعَمَلُ غَايَةُ الْعِلْمِ
Aku
memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam
menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu.
Sesungguhnya ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan
dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari
kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya
(yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh
masyarakat karena melihat ibadahnya.”
Tujuan
ilmu adalah amal, sebagaimana tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong
dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita
berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan
mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.
Sebagian
ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak
dari ilmu.” (Iqtidhaul
Ilmi Al-’Amal 14-15)
Semangat
Beramal Mengalahkan Kelelahan dan Kelemahan
Syaikh Abdurrozaq bercerita, “Suatu
ketika aku pernah shalat Tarawih di Masjid Nabawi. Dulu, setiap malam bulan
Ramadhan, para imam Masjid Nabawi membaca tiga juz dari Al-Quran dangan bacaan
tartil. Berbeda dengan sekarang di mana para imam hanya membaca satu juz.
Ketika itu, aku shalat dan ternyata di hadapanku ada seorang dari Indonesia
yang juga ikut shalat malam. Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut
kakinya buntung satu. Tatkala berdiri dia hanya bertopang pada satu kakinya.
Sungguh menakjubkan, kita yang memiliki dua kaki merasa kelelahan menunggu imam
menyelesaikan bacaan tiga juz dalam sepuluh rakaat, sementara orang Indonesia
ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki tetapi semangatnya yang begitu luar
biasa; sama sekali tidak bergeming selama shalat, tidak terjatuh atau
tertatih-tatih. Keimanan yang luar bisa yang menjadikannya kuat untuk bertahan
berjam-jam melaksanakan shalat Tarawih.”
Kisah yang luar biasa ini beberapa
kali saya dengar dari Syaikh tatkala memotivasi murid-muridnya untuk semangat
beramal. Timbul kebanggaan dalam diri saya mengetahui orang yang beliau
contohkan itu berasal dari Indonesia, namun sekaligus timbul rasa malu dalam
diri saya, mengapa saya tidak semangat beribadah seperti orang yang buntung
tersebut?
Manhaj
Nabi??!!
Suatu ketika saat Syaikh mengisi
pengajian, ada orang yang bertanya kepada beliau, “Ya Syaikh, bagaimanakah
manhaj Nabi?” Pertanyaan ini unik karena diajukan saat santer-santernya fitnah
tahdzir-mentahdzir di Arab Saudi, dan orang tersebut tentunya berniat baik
ingin mengetahui bagaimanakah manhaj yang benar sehingga ia bisa berada di atas
manhaj yang lurus sehingga selamat di tengah badai tahdzir dan fitnah. Namun,
apa jawaban Syaikh?
Beliau berkata, “Manhaj Nabi sudah
jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam. Menjelang
shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat
Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau duduk di masjid, berdzikir hingga waktu
syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika tiba waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan
seterusnya. Beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang
kesusahan, menjamu tamu… dan seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.”
Demikian kira-kira jawaban beliau.
Jawaban yang mengingatkan sebagian kita yang menyukai tahdzir-mentahdzir agar
jangan lupa beramal. Jangan sampai kita yang mengaku di atas manhaj yang benar
dan memberikan porsi yang besar terhadap manhaj, lantas lalai dari beramal
shalih. Jangan sampai kita yang semangat mentahdzir kesalahan orang lain,
ternyata orang yang kita tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap amal
daripada kita.
Saya teringat nasihat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang suka mentahdzir tapi
kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir justru lebih semangat dalam
beramal.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak
orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat, engkau dapati
mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan sunah-sunah dari hal yang berkaitan
dengan ibadah, atau dalam ber-amar makruf, menyeru manusia untuk mengerjakan
sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah). Dan, mungkin saja keadaan
mereka, yang mengingkari bid’ah namun tidak mengerjakan banyak sunah Nabi,
justru lebih buruk dari keadaan orang yang melakukan ibadah yang bercampur
dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah dengan kemakruhan di sini adalah
kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya-pen).
Bahkan, agama itu adalah amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak
salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka
tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kemakrufan.”
(Iqtidho’ As-Shirootil Mustaqiim II/126.)
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com