Senin, 02 September 2013

SALIM MAULA ABU HUDZAIFAH

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada para shahabatnya, katanya: “Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal … !”
Dulu kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Qur’an …? Ia adalah Salim radhiyallahu ‘anhu, maula Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ….Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian, dan kemudian Islam memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka (Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu), yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya. Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim radhiyallahu ‘anhu-pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula (= hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin ‘Utbah radhiyallahu ‘anhu.
Berkat karunia dan ni’mat dari Allah Ta’ala, Salim radhiyallahu ‘anhu mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwanya,serta perangai dan ketakwaannya. Shahabat Rasul yang mulia ini disebut “Salim radhiyallahu ‘anhu maula Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu”, ialah karena dulunya ia seorang budak belian dan kemudian dibebaskan! Dan ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa menunggu lama …, dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam angkatan pertama. Kelebihannya yang paling menonjol ialah mengemukakan apa yang dianggapnya benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucapkannya, dan ia tak hendak mengkhianati hidupnya dengan berdiam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya … !
Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja mengirim mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu.
Ketika Khalid radhiyallahu ‘anhu sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa mengunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memohon ampun kepada Tuhannya amat lama sekali sambil katanya: “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid … !” Juga peristiwa tersebut tak dapat dilupakan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, ia pun mengambil perhatian khusus terhadap pribadi Khalid katanya: “Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam … !”
Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid radhiyallahu ‘anhu ini ikut Salim radhiyallahu ‘anhu maula Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu serta shahabat-shahabat lainnya Dan demi melihat perbuatan Khalid tadi, Salim radhiyallahu ‘anhu menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan besar di masa jahiliyah dan di zaman Islam itu, mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu kemudian membela dirinya, akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit. Tetapi Salim radhiyallahu ‘anhu tetap berpegang pada pendiriannya dan mengemukakannya tanpa takut-takut atau bermanis mulut.
Ketika itu ia memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Mekah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belian, tidak..! Karena Islam telah menyamakan mereka! Begitu pula ia tidaklah memandangnya sebagai seorang panglima yang kesalahan-kesalahannya harus dibiarkan begitu saja, tetapi ia memandang Khalid sebagai serikat dan sekutunya dalam kewajiban dan tanggung jawab. Serta ia menentang dan menyalahkan Khalid itu bukanlah karena ambisi atau suatu maksud tertentu, ia hanya melaksanakan nasihat yang diakui haqnya dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa nasihat itu merupakan teras dan tiang tengah Agama, sabdanya: Agama itu ialah nasihat … ! “Agama itu ialah nasihat … ! “Agama itu ialah nasihat … ! Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar perbuatan Khalid bin Walid, beliau bertanya, katanya: “Adakah yang menyanggahnya … ? Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah mengharukan… ! Dan amarahnya shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi surut, ketika mereka mengatakan pada beliau: “Ada, Salim radhiyallahu ‘anhu menegur dan menyanggahnya … !’
Salim radhiyallahu ‘anhu hidup mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang beriman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mempertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua! Saat itu berpulanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke rahmatullah. Dan khilafat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah ! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi Islam… !
Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim radhiyallahu ‘anhu bersama Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu radhiyallahu ‘anhu saudara seagama.
Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama! Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara, Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dan Salim radhiyallahu ‘anhu berpelukan dan sama berjanji siap mati syahid demi Agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak … ! Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berseru meneriakkan: “Hai pengikut-pengikut al-Quran… ! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kalian … !” Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah…, sementara Salim radhiyallahu ‘anhu berseru pula, katanya: – “Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al-Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku… !” “Tidak mungkin demikian, wahai Salim radhiyallahu ‘anhu… ! Bahkan engkau adalah sebaik-baik pemikul al-Quran … !”ujar Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-ouang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam ….
Tiba-tiba salah sebuah pedang orang-orang murtad itu menebas tangannya hingga putus …, tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya yang pertama, ialah Zaid bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini: Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. 3:146)
Wahai, suatu semboyan yang maha agung… ! Yakni semboyan yang dipilih Salim radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi ajalnya … !
Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbunya, hingga pahlawan itu pun rubuhlah. Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara Muslimin. Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari korban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim radhiyallahu ‘anhu dalam sekarat maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka: “Bagaimana nasib Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu?” “Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka. “Baringkan daku di sampingnya “,  katanya pula. “lni dia di sampingmu, wahai Salim radhiyallahu ‘anhu !  Ia telah menemui syahidnya di tempat ini !”  Mendengar jawaban itu tampaklah senyumnya yang akhir dan setelah itu ia tidak berbicara lagi. Ia telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini.  Mereka masuk Islam secara bersama. Hidup secara bersama dan kemudian mati syahid secara bersama pula. Persamaan nasib yang amat….yang amat indah … !