Minggu, 03 Maret 2013

HUKUM SHALAT BERJAMA'AH

Fungsi & fadhilah shalat berjama'ah yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, merupakan suatu jaminan yang pasti akan diperoleh oleh pelakunya selama dia melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, semoga fadhilah-fadhilah tersebut memantapkan keyakinan dan menguatkan semangat kita untuk selalu melaksanakannya secara maksimal, namun terkadang kita masih mendapatkan kaum muslimin yang masih bermalas malasan untuk melaksanakan shalat berjama'ah hal ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang hukum shalat berjama'ah itu sendiri.
Hukum Shalat Berjama'ah Para fuqaha (ahli fiqh) antara lain dari kalangan Madzhab Maliki, Syafi'i, dan sebagian Madzhab Hanafiyah berpandangan bahwa hukum shalat berjama'ah adalah sunnah muakkadah ada pula sebagian fuqaha mengatakan hukumnya wajib kifayah begitulah pendapat kedua dari mazhab Syafi'i sedangkan fuqaha lainnya lagi mengatakan wajib 'ain, demikianlah pandangan Atha, Al-Auza'i, Abu Tsaur dan umumnya tokoh madzhab Hambali dan Zhohiri. Pendapat ketiga inilah yang paling kuat, berdasarkan banyaknya riwayat yang shahih tentang kewajiban shalat berjama'ah bagi setiap muslim yang terlepas dari udzur. Adapun dalil-dalinya adalah :
Dalil Dari Al-Qur'an
1. Perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk melakukan ruku' bersama orang-orang yang ruku', Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : 
( وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ( البقرة : 43
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku" (QS. Al Baqarah :43) Konteks ayat "Ruku'lah bersama orang-orang yang ruku', mengisyaratkan wajibnya shalat berjama'ah sebab jika dikatakan ayat diatas hanya menunjukkan perintah shalat maka lafadz "Wa aqimush shalah" (Dirikanlah shalat) itu sudah cukup. Berkata Al Hafizh Ibnul Jauzi رحمه الله ketika menafsirkan ayat ini : "Yaitu shalatlah bersama-sama orang yang shalat" (Lihat Zaadul Masiir 1:75) Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan "Dan banyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil diwajibkannya shalat berjama'ah".(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1:85) Jika dikatakan bahwa perintah "Ruku'lah bersama orang-orang yang ruku', juga telah dikatakan kepada Maryam padahal sebagaimana yang diketahui bahwa wanita tidak wajib shalat berjama'ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
( يَامَرْيــَمُ اقْنُتِي لِرَبــِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ ( آل عمران :43
"Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku". (Ali Imran : 43) Maka kita katakan bahwa ayat ini tidak mewajibkan atas wanita umumnya akan tetapi perintah tersebut dikhususkan untuk Maryam, karena ibu beliau pernah bernadzar untuk menjadikannya hamba yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan untuk beribadah kepadaNya serta mengabdi dan memakmurkan masjid, sedangkan wanita selain beliau lebih utama melaksanakan shalat di rumah mereka masing-masing, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
( صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي اْلمَسْجِدِ ( رواه حاكم
"Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di masjid" (HR. Hakim)
2. Perintah untuk melaksanakan shalat berjama'ah dalam keadaan takut
Perintah untuk melaksanakan shalat berjama'ah bukan hanya diperintahkan ketika dalam keadaan tenang/ damai bahkan hal ini juga diperintahkan ketika dalam keadaan takut, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata". (QS. Annisa : 102) Telah disebutkan di atas bahwa "..dan hendaklah datang segolongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah bersamamu...". Ini adalah dalil bahwa shalat berjama'ah adalah fardhu 'ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjama'ah bagi kelompok kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama untuk meninggalkan shalat berjama'ah adalah karena takut. Kalau saja Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap mewajibkan untuk shalat berjama'ah dalam keadaan takut/ perang maka tentunya dalam situasi tenang dan aman hukumnya akan lebih wajib.
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : 
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبـْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ : القلم:42-43
"Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera." (QS.Al-Qalam 42-43) Berkata Said bin Musayyib رحمه الله ketika menafsirkan ayat di atas : "Mereka adalah orang-orang yang mendengarkan hayya 'alashshalah hayya 'alal falah namun mereka tidak memenuhi panggilan tersebut" Berkata Ka'ab bin Al-Ahbar رحمه الله berkata "Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali sebagai peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat berjama'ah"

Dalil Dari As-Sunnah
1. Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk melaksanakan shalat berjama'ah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : 
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُـؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمـَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ  :  رواه البخاري و مسلم
"...Apabila telah datang waktu shalat maka azanlah untuk kalian salah seorang dari kalian dan hendaklah menjadi imam orang yang paling tua diantara kalian" (HR. Bukhari dan Muslim) Dan hal yang memperkuat wajibnya melaksanakan shalat secara berjama'ah adalah perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk melaksanakannya bagi musafir walaupun hanya dua orang saja. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : 
( إِذَا أَنــْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنـــَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمـَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا( رواه البخاري
"Apabila kalian berdua keluar (musafir) maka adzanlah kemudian iqamahlah lalu hendaklah menjadi imam diantara kalian yang tertua" (HR. Bukhari)
2. Larangan keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : 
إِذَا كُنـــْتُمْ فِي الْمـــَسْجِدِ فَنــُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَلاَ يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ : رواه أحمد
"Apabila kalian berada di dalam masjid kemudian dikumandangkan adzan untuk shalat maka janganlah salah seorang dari kalian keluar (dari masjid) hingga ia melaksanakan shalat" (HSR. Ahmad) Oleh sebab itu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menghukumi orang yang keluar dari masjid setelah adzan sebagai orang yang telah bermaksiat terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Sya'tsa' beliau berkata : "Kami duduk-duduk di dalam masjid bersama Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu lalu dikumandangkan adzan maka berdirilah seorang laki-laki lalu berjalan kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu mengikutinya dengan pandangan hingga keluar masjid lalu berkata : "Adapun orang ini maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam) " (R. Muslim)
3. Tidak adanya keringanan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk meninggalkan shalat berjama'ah. 
Diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa Sallam: 
يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لاَ يُلاَئِمُنِي فَهـَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَـيْتِي قَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النـِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ : لاَ أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
رواه أبو داود :
"Wahai Rasulullah ! Saya adalah orang yang buta, rumah saya jauh (dari masjid), dan saya tidak mempunyai penuntun yang selalu menuntun saya (ke masjid) Apakah saya mendapatkan keringanan untuk shalat (fardhu) di rumah ? Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : "Apakah kamu mendengarkan adzan ?", beliau menjawab "Ya", lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Saya tidak mendapatkan keringanan untukmu" (HSR. Abu Daud) Di dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak memberikan keringanan kepada Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu 'anhu untuk shalat fardhu di rumahnya (tidak berjama'ah) kendati ada alasan, diantaranya karena beliau orang yang buta, rumahnya jauh dari masjid dan tidak mempunyai penuntun yang selalu menuntunnya menuju ke masjid, dan diriwayat lain disebutkan bahwa beliau telah lanjut usia, banyak hewan-hewan buas yang berkeliaran di sekitar kota Madinah dan adanya pohon-pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang ada diantara rumah beliau dan masjid.
4. Keinginan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam membakar rumah orang-orang yang tidak melaksanakan shalat berjama'ah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : 
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَـتِي فَيَجْمَعُوا حُزَمًا مِنْ حَطَبٍ ثُمَّ أَاتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيـْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأُحَرِّقَهـَا عَلَيـْهِمْ
رواه أبو داود : 
"Sungguh aku ingin memerintahkan anak-anak muda untuk mengumpulkan ikatan kayu bakar kemudian saya mendatangi sekelompok kaum yang shalat di rumah-rumah mereka (masing-masing) tanpa ada udzur lalu aku membakar rumah mereka" (HSR. Abu Daud) Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar رحمه الله : "Adapun hadits yang terdapat dalam bab ini maka nampak bahwa shalat berjama'ah hukumnya fardhu 'ain sebab seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang meninggalkannya tidaklah diancam bakar dan seandainya hukumnya adalah fardhu kifayah niscaya shalat yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersama shahabatnya telah cukup" (Lihat Fathul Baari 2:125-126) Perkataan Salafus Shalih Berkata Abdullah bin Mas'ud رحمه الله : "Barang siapa yang mendengar panggilan shalat (adzan) kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syar'i, maka tidak ada shalat baginya".
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada seluruh kaum muslimin.
-Abu Muhammad Muhammad Salim Ahmad-
Maraji' : Ahammiyatu Shalatil Jama'ah, Dr. Fadhlu Ilahi
(Al Fikrah Tahun 2 Edisi 19)

Jumat, 01 Maret 2013

Kita, Ukhuwah dan Sandiwara

Senyumnya tak lagi seindah dulu, saat awal aku diajak untuk menuntut ilmu. Sapaannya tak selembut dan sesering dulu, saat menutup aurat aku masih canggung dan malu, kini ketika aku terbaring sakit berkeluh tak ada pelipur yang membuat haru meski sekedar pelaru rindu. Ah, seandainya bukan karena Rabb-ku aku ingin kembali seperti dulu. Atas nama ukhuwah aku menuntut kemana ia berlalu?


Saudaraku, mungkin setiap hari kita senantiasa menyebut kata ukhuwah, menceramahkannya, menceritakan keindahan dan keutamaannya dan –mungkin- tak jarang kita bahkan terkagum-kagum dengan kisah-kisah lampau yang menggambarkan keajaiban ukhuwah yang terjalin di antara pejuang sofwah Islamiyah, menjadikan kita bersemangat untuk mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari kita baik kepada sesama penuntut ilmu dan pejuang dakwah maupun kepada orang awam sekeliling kita, terlebih kita tahu bahwa ia adalah salah satu sendi agama kita.
Tapi pernahkah kita berpikir dan merenung, seiring dengan perjalanan waktu ia kadang menguap tak terasa dan meninggalkan kesan bahwa ia hanya dibutuhkan untuk sementara, hanya untuk menarik simpati belaka.
Suatu saat kita disibukkan untuk mengajak orang-orang ke jalan Allah, dengan bahasa-bahasa lisan dan gerak yang memukau, tapi pada saat yang sama kita justru melupakan orang yang pernah berjuang dengan kita dan kini terbaring tak berdaya ditemani kenangan indah masa lalu saat ia terpukau dengan bahasa indah kita, terlepas kita lupa atau tidak tahu.
Saudaraku –ah, kata ini terlalu indah hingga saya suka mengulangnya, tapi mudah-mudahan tidak membosankan apalagi menghilangkan makna keanggunannya-, kita memang bukan orang sempurna dalam segala hal, di tengah kesibukan kita apalagi seruan iblis la’natullah ‘alaihi memang kadang membuat pikiran kita terpecah -parsial- antara prioritas dan bukan, bahkan membuat kita lupa dan menjadikan kita tak sadar. Tapi tahukah kita dalam keadaan penuh kesadaran pun kadang kita menginjak keagungan ukhuwah tersebut. Penyakit individualis adalah propaganda iblis untuk mengikis ukhuwah yang seharusnya menjadi ciri khas kaum muslimin terlebih bagi para pejuang dakwah telah menimpa kebanyakan kita, jika begitu apa yang membedakan kita dengan orang awam? Mungkin hanya pakaian dan beberapa amalan lainnya.
Saudaraku, manusia terbaik dan paling bertaqwa yang pernah ada di muka bumi ini ditegur oleh Sang Khalik ketika beliau tidak memperdulikan seorang buta datang kepadanya untuk bertanya dan lebih mementingkan berbicara dengan orang kafir yang sombong dengan harapan mereka masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, teguran itu diabadikan-Nya dalam kitab suci-Nya, Al Qur’an al Karim dan dikhususkan dalam sebuah surah yang bernama ‘Abasa (Ia bermuka masam) mungkin kita sudah tahu bahkan sudah menghapalnya.
Sejak teguran itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam semakin bersikap lunak kepada semua orang dan teguran itu semakin memposisikan beliau sebagai makhluk yang maksum (terjaga) dalam penjagaan-Nya.
Mungkin peristiwa tersebut di atas juga bisa kita samakan kebanyakan fenomena sekarang ini, ketika kehangatan ukhuwah hanya ada pada jumpa pertama, hanya menjadi senjata pamungkas untuk mengajak orang ke jalan Allah. Meski untuk tujuan baik lagi mulia tapi itu adalah tindakan yang hampir mirip dengan sandiwara, ukhuwah bukanlah kebutuhan sementara.
Saudaraku, tiap hari kita menyaksikan para pejuang yang datang dan pergi -futur- dan tahukah kita apa yang membuat mereka meninggalkan jalan yang seharusnya mengasyikkan ini? Kebanyakan mereka beralasan yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam ukhuwah itu. Di satu sisi alasan mereka memang tidak bisa kita benarkan sebab dalam perjuangan kita hanya membutuhkan Allah dan keridhoan-Nya tanpa mengharap dari makhluk, tapi di sisi yang lain seharusnya membuat kita intropeksi akan perilaku ukhuwah kita yang memang kebanyakan temporer. Dari itu kita seharusnya semakin memperbaiki diri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah ditegur, tentu saja bukan hanya karena untuk mempertahankan keutuhan pejuang semata tapi lebih dari itu memang ia adalah kewajiban. Ukhuwah tidak hanya dibutuhkan untuk mengkader.
Saudaraku, tulisan ini bukan untuk memvonis siapapun, hanya sekedar nasehat buat penulis dan buat kita semua sebagai bentuk cinta atas dasar ukhuwah Islamiyah dan mudah-mudahan ia tak berakhir sampai di sini… (AF)
sumber : wahdah.or.id